Metode-Metode Penafsiran

Al-Qur`an diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi manusia dalam kehidupan. Agar manusia bisa menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk, tentunya harus memahami isi Al-Quran dan maksud dari ayat-ayatnya. Adapun salah satu cara untuk mengetahui maksud dari ayat-ayat Al-Quran adalah dengan menelaah kitab-kitab tafsir.
Pada saat ini lebih dari seratus kitab tafsir yang bisa kita dapatkan, dengan berbagai warna, corak, dan metode; dan tidak manutup kemungkinan kalau kitab-kitab tafsir akan semakin bertambah seiring dengan perkembangan jaman dan waktu.
Oleh karena itu, kita harus mengetahui metode apa yang digunakan oleh mufassir tersebut dalam tafsirnya, serta bagaimana corak dan warnanya, sehingga kita bisa mengetahui manhaj mufassir tersebut, keistimewaan tafsirnya, serta layakkah tafsir tersebut kita jadikan sebagai rujukan atau tidak.
2. Pengertian Manahijul Mufassirin
Manahijul mufassirin, terdiri dari dua kata, yaitu manahij dan mufassirin. Kata manahij merupakan bentuk jamak dari kata manhaj.Dalam Lisanul ‘Arab, kata al-manhaj sama denganan-nahju dan al-minhajyang bermakna ath-thariqul wadlihyang berarti cara, jalan, atau metode yang jelas. Dalam KBBI, kata minhaj berarti cara, jalan, atau metode.
Adapun kata mufassirin adalah bentuk jamak dari kata mufassir,yaitu orang yang menafsirkan, yang dimaksud di sini adalah menafsirkan Al-Qur`an.
Jadimanahijul mufassirin adalah metode yang ditempuh oleh para mufassir dalam menafsirkanAl-Qur`an, dan akan menjadi ciri khusus dalam tafsirnya.
3. Cara Mengetahui Manhaj Seorang Mufassir
Ada dua cara untuk mengetahui manhaj seorang mufassir:
a. Dari keterangan mufassir itu sendiri dalam tafsirnya, bahwa manhaj/syarat-syarat yang dia tempuh dalam tafsirnya adalah begini dan begitu.
b. Dengan metode istiqra` (induktif) tamm atau aghlabiyah, yaitu dengan meneliti keseluruhan atau sebagian besar tafsir tersebut dan mengalisisnya, sehingga bisa mengambil kesimpulan tentang metode/manhaj yang digunakan oleh mufassir tersebut.

4. Perkembangan Tafsir
Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat.Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an pada saat itu secara ijmali, artinya tidak memberikan rincian yang memadai.Dalam tafsir mereka pada umumnya sukar menemukan uraian yang detail, karena itu tidak keliru apabila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir Al-Qur’an yang pertama kali muncul dalam kajian tafsir Qur’an.
Metode ini, kemudian diterapkan oleh As-Suyuthi di dalam kitabnya al-Jalalain, dan al-Mirghani di dalam kitabnya Taj al-Tafsir. Kemudian diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-Ma’tsur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’yi.Tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu, seperti fiqih, tasawuf, bahasa, dan sebagainya.Dapat dikatakan, bahwa corak-corak serupa inilah di abad modern yang mengilhami lahirnya tafsir maudhu’i, atau disebut juga dengan metode maudhu’i (metode tematik). Lahir pula metode muqarin (metode perbandingan), hal ini ditandai dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip, seperti Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil oleh al-Khathib al-Iskafi [w.240 H] dan al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an oleh Taj al-Qurra’ al-Karmani [w.505 H], dan terakhir lahirlah metode tematik [maudhu’i]. Meskipun pola penafsiran semacam ini [tematik] telah lama dikenal dalam sejarah tafsir al-Qur’an, namun menurut M.Quraish Shihab, istilah metode maudhu’I yang dikenal sekarang ini, pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad al-Kuumy (w. 1383 H).
Lahirnya metode-metode tafsir tersebut, disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis.Katakan saja, pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat [asbab al-nuzul], serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an turun.Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat.Maka, pada kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global [ijmal]. Itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam al-Qur’an seperti lafal (الظلم) dalam ayat 82 surah al-An’am الَّذِينَآَمَنُواوَلَمْيَلْبِسُواإِيمَانَهُمْبِظُلْمٍArtinya: ”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman [aniaya].”
Ayat ini cukup mengganggu pikiran umat pada saat itu, karena mengandung makna bahwa mereka yang mencampuradukan iman dengan aniaya tidak akan memperoleh keamanan dan petunjuk. Ini berarti, seakan-akan percuma mereka beriman karena tak akan bebas dari azab, sebab mereka percaya bahwa tak ada di antara mereka yang tidak pernah melakukan aniaya. Tetapi, mereka merasa tenang dan puas setelah Nabi saw menafsirkan (الظلم) di dalam ayat itu dengan(الشرك) dengan mengutip ayat 13 surah Luqman, sebagai berikut:لَاتُشْرِكْبِاللَّهِإِنَّالشِّرْكَلَظُلْمٌعَظِيمٌ.Artinya: ”Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan [Allah] adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Berdasarkan kenyataan historis tersebut, dapat dikatakan bahwa kebutuhan ummat Islam saat itu terpenuhi oleh penafsiran yang singkat [global], karena mereka tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam.Maka tidak dapat dimungkiri bahwa memang pada abad pertama berkembang metode global [ijmali] dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode global [ijmali] terasa lebih praktis dan mudah dipahami, kemudian metode ini banyak diterapkan. Ulama yang menggunakan dan menerapkan metode ijmali pada periode awal, seperti: al-Suyuthi dan al-Mahalli di dalam kitab tafsir yang monumental yaitu al-Jalalain, al-Mirghani di dalam kitab Taj al-Tafsir, dan lain-lain. Tetapi pada periode berikutnya, setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam.Maka, konsekuensi dari perkembangan ini membawa pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan ummat yang semakin kompleks dan beragam.
Kondisi ini, merupakan pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis [tahlili], sebagaimana tertuang di dalam kitab-kitab tafsir tahlili,seperti tafsir al-Thabrani dan lain-lain. Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di kala itu, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur’an.Ummat merasa terayomi oleh penjelasan-penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Maka pada perkembangan selanjutnya, metode penafsiran serupa juga diiukuti oleh ulama-ulama tafsir yang datang kemudian, bahkan berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai corak yang dihasilkannya, seperti fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’i dan lain-lain.
Dengan munculnya dua bentuk penafsiran dan didukung dengan berbagai corak tersebut, ummat Islam ingin mendapatkan informasi yang lebih jauh berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir.Selain itu, ummat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal bahwa pengertiannya berbeda.Kondisi ini, mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang pernah diberikan oleh mufassir sebelumnya dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. ”Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan [muqarin] seperti yang diterapkan oleh al-Iskafi di dalam kitabnya Darrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil, dan oleh al-Karmani di dalam kitabnya al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an”, dan lain-lain.
Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi ummat pada abad modern yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat. Untuk itu, ”ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode tematik [maudhu’i].
5. PembagianTafsir
Tafsir dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, dipandang dari segi yang berbeda-beda, yaitu:
1. Berdasarkan sumbernya:
a. Tafsir bil ma`tsur
b. Tafsir bir ra`yi. Tafsir bir ra`yi ada dua, yaitu mamduh dan madzmum. Dalam kelompok ini, masuk semua tafsir dengan segala ittijahahnya, seperti tafsir adabi, lughawi, ilmi, fiqhi, shufi, tahlili, ijmali, dll.
2. Berdasarkan luas atau tidaknya penafsiran, ada dua:
a. Tafsir tahlili
b. Tafsir ijmali
3. Berdasarkan tema:
a. Tafsir ‘am
b. Tafsir maudhu’i

Keterangan tambahan:
Madrasah tafsir bir ra`yi:
a. Penafsiran Al-Qur`an menurut aqidah, masing-masing aliran mempunyai tafsir, misalnya Ath-Thabrasi (Rafidhah), Tafsir Ar-Razi , Tafsir Al-Alusi dan An-Nasafi (Al-Maturidiyah), meskipun dalam kitab-kitab tafsir tersebut juga dibahas masalah-masalah lain, seperti fiqih, lughah, dll.
b. Madrasah tafsir Al-Mausu’i, yakni tafsir yang tidak mengkhususkan satu bidang tertentu, akan tetapi mengambil semua bidang ilmu tafsir. Penafsiran ini dengan menggunakan atsar, sebab nuzul, bahasa, fiqih, tarikh, ilmu falak, dll. Misalnya adalah Mafatihul Ghaib.
c. Tafsir Lughawi, yang memfokuskan pada nahwu, i’rab, dll, seperti tafsir Abu Hayyan (Al-Bahrul Muhith).
d. Tafsir fiqhi, yang memfokuskan pada masalah hukum dan masing-masing madzhab mempunyai kitab tafsir, seperti Ahkamul Qur`an libnil ‘Arabi (Malikiyah), Ahkamul Qur`an libni ‘Adil (Hanabilah), Ahkamul Qur`an Lil Jashshash (Hanafiyah), dll.

Tentang dulhayyi

Pengajar Tata Buku dan Akuntansi (2013-2014) Pengajar Kajian Hadits di Islamic Center Sragen (2014) Pengasuh Pondok Pesantren Baitul Iman Kerjo Karanganyar (2016) contact 08172838421
Pos ini dipublikasikan di Ilmu Din, Tafsir dan tag , . Tandai permalink.

2 Balasan ke Metode-Metode Penafsiran

  1. eyvan berkata:

    Kami mencoba menawarkan sebuah metodologi tafsir “baru” melalui pendekatan bentuk geometri Ka’bah dan pola susunan Al Qur’an, yang dapat di baca di : manhaj al bait al atiq, pada : http://www.polaruangalquran.blogspot.com

    • dulhayyi berkata:

      Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu. Setelah membaca artikel anda, saya dapati tujuan anda sangat bagus dan indah tetapi sebaik-baik metode adalah metode Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kita tidak perlu metode lain. Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk mencari apa yang dimaksudkan oleh Allah dan Rasulullah telah menjelaskannya kepada kita. Terlepas metode apa yang akan dipilih, pada akhirnya kita bisa melihat jika hasilnya menyimpang dari ajaran Nabi, itu berarti metodenya yang salah atau kita yang tidak bisa menggunakan metode dan pada hakikatnya sedikit di antara kita yang layak disebut sebagai mufassir.

Tinggalkan komentar